(Lilis Septiarini, Pend. Ekonomi UNNES)
Gerimis pagi seketika melewati rumah yang masih berdindingkan papan kayu itu, sesekali ditemani oleh kilatan petir yang gemuruhnya hanya tertelan dalam telinga. Minggu yang mendung di bawah langit yang murung. Zahra, seorang bocah kecil hanya menatap fase alam ini dalam – dalam. Tak tahu apa yang ia pandang, dalam bola mata hanyalah tergambar pohon – pohon yang basah oleh lahapan mulut hujan. Sembari duduk di sebuah kursi tua warisan almarhum Sang Ayah, ia tumpahkan semua rasa yang semakin sesak dan kian menebali dinding – dinding hati. Ku katakan lagi, ia memang seorang bocah kecil, tapi ia juga bisa merasakan apa itu bahagia dan apa itu derita. Sebuah pergejolakan perasaan yang kini ia alami semenjak Ayahnya melukis senyum untuk meninggalkan dunia ini. Semenjak lahirnya Sang Adik kecil dari rahim yang sama dengannya dan justru membuat hidupnya penuh dengan rentetan kepedihan.
“Mbak, ke warung ya belikan gula. Adikmu rewel.” Ucap ibunya tiba – tiba yang seketika membuat satu detakan jantungnya lebih kencang, segera ia hapus lelehan yang sudah pecah dan menggenangi pipi merahnya berharap seseorang yang selalu ia hormati sekaligus ia takuti itu tak melihatnya hingga sampai memancing amarah.
“Iya Ibu...” Ia geret langkahnya menyusuri jalan yang semakin basah oleh tumpahan gumpalan kelam dari langit. Ditemani sebuah payung kecil ia mencoba menghibur dirinya sendiri. Teman seusianya dengan bahagia bergelut manja di pangkuan ibu, sementara dirinya harus jauh dari pengandaian untuk bisa seperti itu. Tiap hari hanyalah sebuah kehampaan baginya. Tak ada garis warna ria, yang ada hanyalah lipatan – lipatan kesedihan dan setetes air mata yang tertahan. Dengan siapa ia harus mengadu, seorang bocah kecil kelas satu SD yang masih begitu butuh sosok yang mengasihi justru seakan harus melawan badai kehidupan seorang diri.
Cerita hidup yang seketika berbelok arah kala tiada sosok seorang Ayah yang selalu mampu lekukkan lesung pipinya. Keadaan ekonomi pun seketika berserong menitikkan sebuah kekurangan hingga menuntutnya untuk menanamkan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang jauh lebih tua darinya. Sebuah keadaan yang menuntut Sang ibu pula untuk bersikap keras kepada dirinya untuk mengajarkan suatu kemandirian. Seperti ini lah gari
s takdir yang tiap hari harus ia jalani.
“Ayah, Zahra rindu Ayah. Zahra ingin disayang bukan dimarahi terus. Seperti yang kini selalu Ibu lakukan pada Zahra, selalu memaki - maki. Ibu seperti bukan yang Zahra kenal dulu. Ibu sekarang jahat, Zahra benci Ibu dan Zahra benci Adik. Karena mengandung Adik, Ibu sakit, karena ibu sakit Ayah memanggil ibu Bidan. Dan di jalanpun Ayah kecelakaan dan pergi, katanya Ayah nggak bakal kembali lagi. Zahra sedih, Ayah nggak pulang. Zahra sendirian, sekarang Ibu sudah dimilki oleh Adik. Ayah cepat pulang.” Sebuah coretan yang ia tulis pada buku catatannya, sebuah bahasa lugu seorang bocah kecil namun seperti itulah ungkapan hatinya, hati yang masih lugu pula. Tak paham akan apa itu kematian yang sudah merenggut nyawa Ayahnya. Ia hanya tahu kalau Sang Ayah sedang pergi jauh.
Pulang sekolah kini ia menyandarkan diri di pojok dinding kelas. Pagi tadi ia harus kembali menelan makian dari sang Ibu gara – gara Adiknya jatuh dari ayunan. Dengan sesenggukan ia menahan takut, tak berani melangkahkan kaki untuk menapaki pelataran rumah.
Hingga fajar berangsur menenggelamkan sinarnya, dan memecah menjadi petang menyapa baru ia beranikan diri untuk menggeretkan langkah ke rumah yang sebenarnya sudah enggan ia tuju, karena disanalah rasa ketraumannya muncul. Kepahitan akan garis hidup yang memaksanya untuk menakuti sang Ibu dan membenci adiknya.
“Pinter kamu ya jam segini baru pulang.” Langsung ia ditodong dengan makian sang Ibu dan hadiah jeweran dikuping.
“Sakit Bu, Zahra minta maaf. Hiksss..”
“Harusnya kamu itu tahu diri, ibu pusing ngurusin adikmu. Ditambah kelakuanmu yang seperti ini, manja.”
“Kenapa sih ibu marah – marah terus, Zahra capek dimarahin terus Bu, Zahra juga butuh disayang, dimanja. Zahra pengen pergi sama Ayah saja. Zahra nggak mau sama Ibu, Pokoknya Zahra mau pergi.”
Ia pun dengan cepat berlari membawa gumpalan air mata kesedihan, kesedihan seorang bocah kecil yang terus dituntut untuk melawan kerasnya hidup.
“Zahra mau kemana.” Teriak sang Ibu namun tak didengarkan oleh Zahra, ibunya berfikir kalau kepergian anaknya hanyalah berkisar hitungan jam. Namun detik berganti detik, jam berganti jam, hari berganti hari dan tahun berganti tahun keberadaan Zahra juga tak diketahui. Ia benar – benar hilang dari genggaman pandangan Ibunya. Sang Ibu hanya menangis dan menangis. Penyesalan terus mengekor dalam hidupnya. Ia tak menyangka anak sulungnya yang masih berusia 6 tahun pergi meninggalkan rumah dan tanpa jejak.
* * *
Ku tak pernah menyangka sebelumnya tapakanku sudah bertahun – tahun lamanya menjejak di kegempitaan kota. Sangat jauh berbeda dari masa lalu yang menyesakkan itu. Ku tak tahu bagaimana perasaan yang sedang ku alami sekarang. Batinku meratap salah dan rindu yang sebenarnya membuncah, namun hanya ku telan dalam lilitan hati. Akankah aku kembali menapaki tangga – tangga yang tlah roboh itu. Roboh karena orang yang sangat ku sayang, orang yang sangat berarti dalam hidupku. Di sisi lain dia pulalah yang menghembuskan satu nafas kehidupan bagiku. Akan tetapi jika ku ingat bagaimana dia merobohkan tangga kehidupanku ingin rasanya ku berteriak kesal dan meragukan akan sebuah keadilan. Ibu,,, ya orang itu adalah ibuku sendiri.
Aku lah bocah kecil bernama Zahra, pada 10 tahun yang lalu. Bocah malang yang tlah kehilangan kasih sayang dari orang tua, bocah yang selalu menjadi sasaran kemarahan dari ibunya. Sesungguhnya diri ini ingin sekali bertemu dengan Ibu, rintik – rintik dimata sudah sering menetes jika mengingatnya, meski tak jarang diselimuti oleh dinding kekesalan jika mengingat kisah pahit itu.
10tahun lamanya ku tutup tirai kehidupanku untuk tidak melihat keadaan ibuku. Nenek yang masih tak merelakanku bertemu dengan ibu kandungku sendiri. Ibu dari ayahku itu, sebenarnya tak merestui pernikahan Ayah dengan Ibu. Makanya ketika mendengar Ayah tiada seketika beliau menyusulku ke Semarang, yang pada saat itu aku tengah kabur dari rumah dan kebetulan bertemu dengan beliau di depan gang rumahku. Tanpa berpikir panjang Zahra kecil dengan cepat menganggukan kepalanya untuk ikut bersama Nenek dan tinggal di Bandung. Pikiranku saat itu hanyalah akan ada sebuah cahaya baru yang segera menyinari dan melipat masa gelapku bersama Ibu. Nenek akan membebaskanku dari jeratan hidup yang sangat sulit untuk ku jalani.
Namun setelah bertahun - tahun lamanya, kini tlah ku putuskan dan bulatkan tekad untuk berkunjung ke Semarang. Aku sudah merindukan saat – saat indah ini. Sengaja ku tidak memberitahu Nenek. Bus ke arah Solo tengah membawaku, sebelumnya aku sudah bertanya kepada Nenek dimana alamat Ibu tinggal karena bagaimana pun juga aku sudah tidak ingat lagi tempat tinggalku apalagi saat itu usaiku baru 6 tahun. Alasanku kepada Nenek hanya ingin mengirimkan fotoku ke Ibu lewat kantor pos, dan Nenek pun tak mencurigainya.
“Berhenti Mas.” Tutur ku kepada seorang kernet bus yang ku tumpangi.
Tepat sekali aku berhenti di sebuah gang yang suasanya masih sangat kental di alam pikiranku. Ku tapaki perlahan jalanan yang agaknya sudah ada perubahan dari 10 tahun yang lalu. Akar kakiku seakan mempatenkan diri disebuah tanah yang dulu sering ku tapaki untuk bermain bersama Ayah.
Sungguh diri ini lemas dan putus harapan ketika mendapati bangunan yang dulu ku singgahi selama 6 tahun nampak rata dengan tanah. Lalu ibu dan adikku kemana?
Aku menangis, meratap dan tak tahu harus bagaimana lagi. Aku tlah membuat kesalahan terbesar dalam hidup dengan meninggalkan rumah. Meninggalkan Ibu dan adikku. Kini harus ku telan pil pahit takdir hidup ini, apakah aku bisa menemukan mereka?
“Maaf Mbak cari siapa?” Tanya seorang Ibu – ibu yang aku sendiri sudah tak mengenalinya. Mungkin dia penduduk baru disini.
“Saya mencari Ibu saya Bu, yang dulu tinggal di rumah ini.” Jawabku dengan nada yang agak tersendat.
“Oh Bu Dewi..rumahnya sudah pindah di pojok timur sana. Mari saya antarkan, tidak jauh kok.”
Aku pun mengikuti langkahnya. Secercah cahaya tlah ku temukan, semoga aku bisa menemukan Ibu, harapku dalam batin.
“Nah itu Bu Dewi.”
“Terima Kasih ya Bu.” Kataku seraya mengumbar senyum penuh ramah. Mataku kembali berkaca.
Ku lihat wanita bergelung paruh baya, tengah membuka tokonya yang ada didepan rumah. Ku masih bisa mengenali wajahnya, meski garis keriput sudah terhias di wajah cantik itu. Seketika tetesan bening dari mata tak bisa ku tahan, dan kini pun meleleh, mengalir bersama rasa bahagiaku.
“Ibu,” Dengan sesenggukan aku berucap dan menghambur ke tubuhnya. ku peluk tubuh Ibu dengan eratnya. Sungguh damai sekali, seakan semua rasa sakit hati yang dulu pernah ia sisakan hilang seketika.
Posisi Ibu masih berdiri mematung, mungkin ia belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang ada di depannya.
“Ini Zahra Bu, anak Ibu.”
“Zahra?” Beliau hanya memandangku dalam dan tajam dengan tangan yang erat menyentuh pipiku.
“Kamu benar Zahra anak Ibu.” Seketika ia menangis sesnggukan, tubuhnya gontai tak berdaya. Aku pun menuntunnya tuk berdiri kembali.
“Iya Bu ini Zahra anak Ibu, maafin Zahra Bu.” Dengan cepat ia membalas pelukanku, dan mendaratkan kecupannya pada wajahku. Tak henti – hentinya rambutku dibelai olehnya.
“Ya Allah Nak kemana aja kamu selama ini.” Dengan cepat ia membalas pelukanku, dan mendaratkan kecupannya pada wajahku. Tak henti – hentinya rambutku dibelai olehnya. Tangisannya pecah, seakan tak mempercayai kalau yang ada di depannya adalah aku, anaknya yang sudah lama menghilang.
“Maafin Ibu Nak, andai waktu bisa diputar Ibu tidak akan melakukan tindakan hingga membuatmu pergi dari rumah. Ibu sudah pasrah mencarimu kesana – kemari. Ibu sudah hilang arah dan harapan untuk bisa bertemu denganmu lagi. Dan sekarang 10 tahun lamanya kita masih dipertemukan, inilah saat – saat bahagia yang selau ibu nanti. Kamu sudah gede, cantik. Ibu jadi teringat sama Almarhum Ayahmu.” Ku rasakan air mata ibu kian mengalir dengan derasnya.
“Ibu...” Ku dikagetkan oleh suara seorang anak perempuan yang memanggil Ibuku dengan sebutan Ibu. Berati dia???
“Aida, sini Nak..kamu sering bertanya kan dimana kakak mu. Dialah kakakmu, Mbak cantik yang sedang kau pandang ini adalah kakakmu.” Ucap Ibu seraya menghapus lelehan yang ada dipipinya.
“Aida, hikksss...” Kembali ku menahan isakan. Kini ku beralih memeluknya. Memeluk seorang adik yang dulu sangat ku benci, dahulu aku memang menyimpan kobaran api kebencian padanya, karena ia lah yang memporak – porandakkan tatanan kehidupanku yang tenang. Namun sekarang tak sepantasnya diriku menvonis dia dengan anggapan seperti itu. Bagaimanapun juga dia adik kandungku sendiri.
“Aida, maafin Kakak ya.” Aida tak mampu berkata, hanya ku lihat sebutir air mata nampak menetes dari mata beningnya. Ia mungkin belum paham akan apa yang terjadi. Ia menangis mungkin karena melihatku dengan Ibu menangis.
Namun tiba – tiba.
“Kamu jahat...kamu udah membuat ibuku menderita selama ini, kamu udah mengambil waktu Ibuku hanya utnuk memikirkanku. Aku benci kamu!!!” Dengan kasar aku didorongnya dan ia pun berlari masuk kerumah aku berusaha mengejarnya namun terhentikan oleh ucapan Ibu.
“Udah nggak papa adikmu masih kecil, belum tahu apa – apa. Mungkin dia masih schok dengan kehadiranmu.”
Aku hanya diam tanpa berkata seraya memutar otakku untuk memikirkan apa yang diucapkan adikku. Mungkin ia marah karena tlah membuat ibu selalu memikirkan dan meratapi kepergianku. Mungkin juga apa yang Aida rasakan sama seperti yang ku rasakan dulu. Karena memikirkanku, membuat ia kehilangan kasih sayang karena waktunya yang tersita hanya untuk memikirkanku. Aku jahat sekali. Kinilah saatnya aku memulianya dari awal menata kembali tatanan keluarga yang harmonis.
Ya Allah...inikah kebahagiaan yang engkau janjikan selama bertahun – tahun, Sungguh bahagia dan damainya ketika berada ditengan – tengah orang yang kita sayangi.
Waktu..inilah jawaban dari teka – teki kehidupan yang ku alami. Ia tlah mengembalikan kebahagiaan yang sempat direnggutnya. Yang telah memisahkan kami, Ibu dan anak. Detik ini ku rasakan kembali kasih sayang itu. Yang ternyata melebihi kebahagiaan apa pun yang disuguhkan di dunia ini. Kan gu genggam erat bahagiaku bersama ibu, tak kan ku biarkan ia merengutnya kembali. Sampai takdir Illahi yang kan mengambilnya. Cerita pahitku hanyalah sebuah ulasan di 10 tahun yang lalu, hanyalah sebuah lembaran pilu di masa lalu.
Batang, 28 Desember 2011
Biodata penulis :
Allis Tyara adalah nama pena dari Lilis Septiarini. Gadis yang lahir 25 September 1992 ini sedang belajar di Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Ekonomi. Menyukai sastra sejak berada di bangku SMP dan aktif menulis ketika di bangku SMK semenjak menjadi redaktur majalah di Sekolah. Prestasi di bidang sastra adalah juara 1 lomba cerpen islami tingkat kota Batang dan Pekalongan. Sementara ia juga masih menggarap novel pertamanya.
keren banget, bismillah selalu kembangkan karyamu saudariku....bidikmisi!!!prestasi....
ReplyDelete