TANGISMU ADALAH TANGISKU
(M. Ahiq Taufiqurrohman)
(M. Ahiq Taufiqurrohman)
Langit malam akan selamanya terpejam, walau seribu bintang kedipkan keindahan. Dalam anganku saat menatap langit yang nampak terpejam tanpa rembulan, tertegur saat sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Apakah hatiku akan selamanya seperti malam ini, terpejam tanpa sinar rembulan. Aku lepas pandanganku dari malam yang nampak kelam, ku lanjutkan langkahku kembali sambil ku acuhkan pertanyaan yang sempat menghinggapi pikiranku karena tubuhku terasa lelah setelah seharian beraktifitas di sekolah. Sesampainya dirumah aku coba untuk mulai belajar, namun tak sampai membuka buku rasa malas mulai menghinngapiku, aku cukupkan pikiranku dari pelajaran esok hari, sambil meletakkan tas dimeja aku menuju ke tempat ragaku melepas kelelahan.
Mata belum seutuhnya berpijar, namun kupaksakan langkah ragaku mengambil air kesucian. Aku sujudkan raga ini kepada Tuhanku diatas sajadah biruku yang mulai nampak usang. Tak menunggu mentari melebarnya sinarnya, ku coba mengawali hari.
“Hai, udah ngerjain tugas sosiologi ?” sapa temanku saat aku baru melangkahkan kakiku kedalam kelas. Aku yang semalam tidak belajar baru ingat jika ada tugas sosiologi. Tanpa bosa-basi aku langsung mengambil buku sosiologi. Tak peduli meja dan bangkau masih berbalut dengan debu akupun mengerjakan tugas. Namun tak sampai 10 huruf aku menggerakkan bulpoinku sirine tanda masuk berbunyi dan waktunya berdo’a, akupun pasrah jika nanti akan mendapatkan hukuman. Saat Do’a aku merasa was-was jika nantinya aku akan mendapatkan hukuman, namun aku beruntung ternyata guru sosiologi tidak mengajar.
Seperti biasanya, tiap kali guru tidak hadir maka gerombolan siswa akan mengisi tiap bangkau. Semua nampak asyik ngobrol tanpa arah dan pola. Aku yang tak begitu suka berbicara hanya bisa menjadi penonton dan sesekali berbicara dengan teman sebangkuku.
Saat aku merasa bosan, tiba-tiba pertanyaan yang selalu menghinggapiku terlintas kembali dalam benakku.
“Apakah hatiku akan selalu sepi tanpa cahaya kasih yang menemani”. Namun aku kembali menutup kembali pertanyaan itu. Waktu istirahat pertama kurang 15 menit lagi, aku mengangkat kepalaku dari atas meja dan menuju meja teman akrabku. Namanya Rani, ia adalah salah satu sahabat yang selalu dapat mengertiku. Saat aku dan Rani mencoba untuk saling bertanya aku terbawa dalam suasana yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku menatap matanya seperti ada cahaya yang selama ini aku nantikan. Namun aku hati ini tak ingin berharap banyak karena “rasa bukan pertanda”. Memang dalam beberapa hari ini aku dan Rani selalu bersama, saat ada tugas ataupun saat waktu jam kosong. Aku mengubur dalam-dalam rasa ini, tak ingin persabatan hancur hanya karena rasa yang sesaat. Mentari telah membelah hari dengan sinarnya, bayangan telah berada diufuk timur. Jarum jam yang pendek telah menunjuk angka 1, pertanda waktu pulang sekolah. Seperti biasa saat pulang sekolah aku tak bergegas untuk pulang, entah karena apa akupun tak tahu.
“Nggak pulang ?”Tanya salah satu temanku.
“Nanti saja, kalu pulang jam segini dirumah ngapain.”Jawabku dengan nada bercanda.
Hari ini cahaya hati datang menghampiri, seseorang telah membuat hati ini seperti hidup kembali walau hanya sebatas mimpi. Adik kelasku telah membuat setengah hati mati walau tak seutuhnya. Hati ini terasa bangun dari tidur panjang, kini sang malam telah menemukan rembulan. Nampak indah bagiku walau ia hanya nampak cuek kepadaku. Tak kuasa aku menatap matanya karena wajahnya hanya tertunduk padaku. Dalam hatiku terbayang kata “inikah rasa yang akan membuat hidupku berubah.”Dalam inangan hatiku selalu terbayang keindahan rasa yang baru setengah mekar.
Hujan tiba-tiba menetes membasahi rerumputan yang nampak kering, namun belum usai hujan berhenti atau mengajak cahaya hati untuk pulang. Namanya sulis dan aku bisa memanggilnya lilis, dengan motorku yang mulai renta aku antarkan ia pulang.
“Kak, apa sih yang membuat kakak mau mengantarku pulang? Panggilnya dari arah belakang.
“Ya, Cuma mau nganterin kamu aja, memangnya kamu malu ya aku antar ?” Tanyaku balik.
“Enggak kok, aku cuma penasaran tiba-tiba kakak kok mau mengantarkan aku pulang, kita juga kan baru kenal.”
Pertanyaan itu tidakku jawab, karena aku kaget ada lubang di tengah jalan, setelah pertanyaan itu aku dan lilis terdiam tanpa sepatah kata yang terucap.
Ki’ik, suara rem motorku yang ampasnya telah habis. Lilispun turun dari motorku sambil meminta aku untuk mampir sejenak. Ingin hati untuk mampir namun aku ada janji dengan temanku. Akhirnya aku pulang dengan rasa yang belum pernah aku rasakan, senyumnya cukup untuk bekal rinduku. Seperti biasa tiap malam aku rutin menyentuh buku pelajaran esok, namun tak pernah aku belajar jika tidak ada PR.
Kabar hubunganku denganya memang aku rahasiakan kepada teman-temanku, karena aku tak ingin ada orang lain yang mencampuri urusanku. Namun sepintar-pintar orang menyembunyikan bangkai pasti tercium juga. Entah darimana berita yang beredar tiba-tiba teman-teman akrabku mengetahui hubungan kami. Namun aku sekali lagi tidak memperdulikannya lagi.
Waktu berjalan beriringan, sikap lilis yang tertutup padaku membuat aku sulit mengertinyaa, tiap aku bertemu dengannya ia nampak menghindar dariku. Namun aku tak akan memperdulikan karena rasa dalam hati tak akan mati.
Di sekolah aku sulit sekali bertemu dengannya, rasa rindu yang tak terhapuskan membuat hati ini ingin menemuinya. Malam menjadi waktu yang aku miliki. Aku menemuinya dan bicara banyak padanya. Ia juga menceritakan semua tentang masa lalunya. Walau bertolak belakang dariku namun hati ini yakin ia terbaik bagiku.
“lis, aku ada satu permintaan bagimu dan mungkin permintaan ini sulit untuk engkau penuhi.” Pertanyaanku yang muncul tiba-tiba..
“ Memangnya apa yang kakak pinta dari aku?”tanya Lilis penasaran.
“Aku ingin melihatmu memakai jilbab dirumah”
Tiba-tiba suasana hening ,namun aku mendengar sebuah jawaban yang membuat hatiku tersenyum. Perjalanan waktu menghantar hati ini untuk selalu menunggu. Namun keinginanku sulis memakai jilbab di luar sekolah belum terbalas. Mungkin hingga kapan aku tak akan memaksanya. Waktu berlalu begitu cepat, aku merasa hubungan ku aemakin jauh darinya menyempatkan waktu menemuinya. Namun petir menyambar hati yang seutuhnya berdiri, ada sebuah kata yang membut rasa ini lenyap. Namun hati ini tetap tegar walau terasa mati jiwa ini.
Aku coba untuk tetap sabar, tak pernah terbesit rasa untuk membencinya.Namun bagai rerumputan kering yang tersulut api, hati ini terasa membara saat hati ini mencoba menghibur rindu padanya, ia selalu menghindar.Tiap kali aku ingin menatapnya, tetapi ia selalu menutupinya.Tak pernah mendapatkan jawaban karena jarak dan waktu memisahkan.
“Bagaimana kabarnya Lilis dengan kekasih lamanya?” Tanyaku pada teman lilis.
“Kekasihnya yang mana …?ooh dengan ….., tapi sepertinya Lilis enggak balikan ama pacar lamanya.”
Aku mendapat penjelasan tentang Lilis, walau aku tak seutuhnya percaya. Rasa ini tak pernah sirna walaupun sebuah kata menghancurkannya. Perlahan-lahan aku ingin melupakannya, namun berat hati menjalaninya.Tak pernah lagi aku menatap kedua matanya, karena setiap aku ingin melihatnya ia selalu menghindar.Tangis hati kerinduan ini, karena kerinduan terbalas oleh sikapnya. Kini di depan pagar gedung aku menatapnya, saat ia berangkat sekolah atu kapanpun aku berjumpa dengannya..
Dalam hatiku berharap Lilis akan kembali sebelum mata hatiku terpejam untuknya selamanya.
Masih berlanjut..............................................
Mata belum seutuhnya berpijar, namun kupaksakan langkah ragaku mengambil air kesucian. Aku sujudkan raga ini kepada Tuhanku diatas sajadah biruku yang mulai nampak usang. Tak menunggu mentari melebarnya sinarnya, ku coba mengawali hari.
“Hai, udah ngerjain tugas sosiologi ?” sapa temanku saat aku baru melangkahkan kakiku kedalam kelas. Aku yang semalam tidak belajar baru ingat jika ada tugas sosiologi. Tanpa bosa-basi aku langsung mengambil buku sosiologi. Tak peduli meja dan bangkau masih berbalut dengan debu akupun mengerjakan tugas. Namun tak sampai 10 huruf aku menggerakkan bulpoinku sirine tanda masuk berbunyi dan waktunya berdo’a, akupun pasrah jika nanti akan mendapatkan hukuman. Saat Do’a aku merasa was-was jika nantinya aku akan mendapatkan hukuman, namun aku beruntung ternyata guru sosiologi tidak mengajar.
Seperti biasanya, tiap kali guru tidak hadir maka gerombolan siswa akan mengisi tiap bangkau. Semua nampak asyik ngobrol tanpa arah dan pola. Aku yang tak begitu suka berbicara hanya bisa menjadi penonton dan sesekali berbicara dengan teman sebangkuku.
Saat aku merasa bosan, tiba-tiba pertanyaan yang selalu menghinggapiku terlintas kembali dalam benakku.
“Apakah hatiku akan selalu sepi tanpa cahaya kasih yang menemani”. Namun aku kembali menutup kembali pertanyaan itu. Waktu istirahat pertama kurang 15 menit lagi, aku mengangkat kepalaku dari atas meja dan menuju meja teman akrabku. Namanya Rani, ia adalah salah satu sahabat yang selalu dapat mengertiku. Saat aku dan Rani mencoba untuk saling bertanya aku terbawa dalam suasana yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku menatap matanya seperti ada cahaya yang selama ini aku nantikan. Namun aku hati ini tak ingin berharap banyak karena “rasa bukan pertanda”. Memang dalam beberapa hari ini aku dan Rani selalu bersama, saat ada tugas ataupun saat waktu jam kosong. Aku mengubur dalam-dalam rasa ini, tak ingin persabatan hancur hanya karena rasa yang sesaat. Mentari telah membelah hari dengan sinarnya, bayangan telah berada diufuk timur. Jarum jam yang pendek telah menunjuk angka 1, pertanda waktu pulang sekolah. Seperti biasa saat pulang sekolah aku tak bergegas untuk pulang, entah karena apa akupun tak tahu.
“Nggak pulang ?”Tanya salah satu temanku.
“Nanti saja, kalu pulang jam segini dirumah ngapain.”Jawabku dengan nada bercanda.
Hari ini cahaya hati datang menghampiri, seseorang telah membuat hati ini seperti hidup kembali walau hanya sebatas mimpi. Adik kelasku telah membuat setengah hati mati walau tak seutuhnya. Hati ini terasa bangun dari tidur panjang, kini sang malam telah menemukan rembulan. Nampak indah bagiku walau ia hanya nampak cuek kepadaku. Tak kuasa aku menatap matanya karena wajahnya hanya tertunduk padaku. Dalam hatiku terbayang kata “inikah rasa yang akan membuat hidupku berubah.”Dalam inangan hatiku selalu terbayang keindahan rasa yang baru setengah mekar.
Hujan tiba-tiba menetes membasahi rerumputan yang nampak kering, namun belum usai hujan berhenti atau mengajak cahaya hati untuk pulang. Namanya sulis dan aku bisa memanggilnya lilis, dengan motorku yang mulai renta aku antarkan ia pulang.
“Kak, apa sih yang membuat kakak mau mengantarku pulang? Panggilnya dari arah belakang.
“Ya, Cuma mau nganterin kamu aja, memangnya kamu malu ya aku antar ?” Tanyaku balik.
“Enggak kok, aku cuma penasaran tiba-tiba kakak kok mau mengantarkan aku pulang, kita juga kan baru kenal.”
Pertanyaan itu tidakku jawab, karena aku kaget ada lubang di tengah jalan, setelah pertanyaan itu aku dan lilis terdiam tanpa sepatah kata yang terucap.
Ki’ik, suara rem motorku yang ampasnya telah habis. Lilispun turun dari motorku sambil meminta aku untuk mampir sejenak. Ingin hati untuk mampir namun aku ada janji dengan temanku. Akhirnya aku pulang dengan rasa yang belum pernah aku rasakan, senyumnya cukup untuk bekal rinduku. Seperti biasa tiap malam aku rutin menyentuh buku pelajaran esok, namun tak pernah aku belajar jika tidak ada PR.
Kabar hubunganku denganya memang aku rahasiakan kepada teman-temanku, karena aku tak ingin ada orang lain yang mencampuri urusanku. Namun sepintar-pintar orang menyembunyikan bangkai pasti tercium juga. Entah darimana berita yang beredar tiba-tiba teman-teman akrabku mengetahui hubungan kami. Namun aku sekali lagi tidak memperdulikannya lagi.
Waktu berjalan beriringan, sikap lilis yang tertutup padaku membuat aku sulit mengertinyaa, tiap aku bertemu dengannya ia nampak menghindar dariku. Namun aku tak akan memperdulikan karena rasa dalam hati tak akan mati.
Di sekolah aku sulit sekali bertemu dengannya, rasa rindu yang tak terhapuskan membuat hati ini ingin menemuinya. Malam menjadi waktu yang aku miliki. Aku menemuinya dan bicara banyak padanya. Ia juga menceritakan semua tentang masa lalunya. Walau bertolak belakang dariku namun hati ini yakin ia terbaik bagiku.
“lis, aku ada satu permintaan bagimu dan mungkin permintaan ini sulit untuk engkau penuhi.” Pertanyaanku yang muncul tiba-tiba..
“ Memangnya apa yang kakak pinta dari aku?”tanya Lilis penasaran.
“Aku ingin melihatmu memakai jilbab dirumah”
Tiba-tiba suasana hening ,namun aku mendengar sebuah jawaban yang membuat hatiku tersenyum. Perjalanan waktu menghantar hati ini untuk selalu menunggu. Namun keinginanku sulis memakai jilbab di luar sekolah belum terbalas. Mungkin hingga kapan aku tak akan memaksanya. Waktu berlalu begitu cepat, aku merasa hubungan ku aemakin jauh darinya menyempatkan waktu menemuinya. Namun petir menyambar hati yang seutuhnya berdiri, ada sebuah kata yang membut rasa ini lenyap. Namun hati ini tetap tegar walau terasa mati jiwa ini.
Aku coba untuk tetap sabar, tak pernah terbesit rasa untuk membencinya.Namun bagai rerumputan kering yang tersulut api, hati ini terasa membara saat hati ini mencoba menghibur rindu padanya, ia selalu menghindar.Tiap kali aku ingin menatapnya, tetapi ia selalu menutupinya.Tak pernah mendapatkan jawaban karena jarak dan waktu memisahkan.
“Bagaimana kabarnya Lilis dengan kekasih lamanya?” Tanyaku pada teman lilis.
“Kekasihnya yang mana …?ooh dengan ….., tapi sepertinya Lilis enggak balikan ama pacar lamanya.”
Aku mendapat penjelasan tentang Lilis, walau aku tak seutuhnya percaya. Rasa ini tak pernah sirna walaupun sebuah kata menghancurkannya. Perlahan-lahan aku ingin melupakannya, namun berat hati menjalaninya.Tak pernah lagi aku menatap kedua matanya, karena setiap aku ingin melihatnya ia selalu menghindar.Tangis hati kerinduan ini, karena kerinduan terbalas oleh sikapnya. Kini di depan pagar gedung aku menatapnya, saat ia berangkat sekolah atu kapanpun aku berjumpa dengannya..
Dalam hatiku berharap Lilis akan kembali sebelum mata hatiku terpejam untuknya selamanya.
Masih berlanjut..............................................
0 komentar:
Post a Comment